Mungkinkah Artificial Intelligence Mengganti Manusia?

Artikel ini merupakan hasil wawancara dengan Deputy Head of Doctor of Computer Science Program, BINUS University, Dr. Ford Lumban Gaol, SM IEEE. Beliau berbicara tentang kebutuhan kuliah Program Doktor bidang Ilmu Komputer untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia Indonesia di bidang teknologi komputer, salah satunya terkait Artificial Intelligence.

SEBUAH mobil sedan menepi sejak sepuluh menit lalu, lampu hazard terlihat berkedip-kedip. Si pengemudi menggenggam secarik kertas yang isinya menggambarkan jalan lurus dengan dua persimpangan, dan beberapa gambar kotak di sisi jalan. Lalu di ujung jalan buntu, terdapat tanda panah dengan pena merah yang bertuliskan “Rumahnya di sini”.

Kertas tersebut semacam peta sederhana, yang seharusnya membantu si pengemudi mencapai tujuan. Tapi sejak tadi si pengemudi terlihat merengut menatap kertas sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia telah hilang arah. Peristiwa di atas seharusnya tidak terjadi jika si pengemudi memanfaatkan bantuan layanan navigasi online. Hampir semua gawai pintar sudah memilikinya. Tinggal masukkan alamat, seketika jalur terbaik muncul. Perjalanan lebih efisien, waktu tak terbuang sia-sia.

Kalau telepon pintar Anda sudah memiliki aplikasi itu, berarti Anda telah mencicipi teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Begitupun dengan jam tangan yang kini bisa mendeteksi detak jantung. Atau sesederhana rekomendasi lagu yang muncul dari layanan streaming musik digital. Meskipun belum pernah mendengar lagu tersebut, Anda menyukainya.

Jadi, Artificial Intelligence bukan melulu sesuatu di luar jangkauan, seperti yang kerap kita lihat di film-film Hollywood. Film Iron Man, misalnya, ada karakter Jarvis yang merupakan asisten virtual Tony Stark. Pada kenyataannya, aplikasi semacam ini sudah ada, meskipun belum secanggih Jarvis. Kita mengenalnya dengan Siri pada gawai IOS atau Google Assistant pada Android.

Kemudian pertanyaan pun muncul, apa sebenarnya kecerdasan artifisial itu? Dr. Ford Lumban Gaol, Deputy Head Doctor of Computer Science (DCS) Program, BINUS Graduate Program-BINUS University, menjelaskan definisi yang cukup sederhana.

“AI adalah sebuah cara atau pendekatan yang dilakukan oleh manusia untuk menerapkan cara berpikir manusia itu ke mesin,” kata dia dalam wawancara hari Rabu (09/09/2020).

Generasi AI

Lebih jauh, Dr Ford memaparkan perkembangan AI yang boleh dikatakan telah mencapai generasi keempat. “Artinya, AI ini sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Data itu sendiri sudah bisa digunakan untuk mengambil keputusan.”

Sebelumnya dia menjelaskan bahwa pada generasi pertama, teknologi AI tidak dipakai secara umum. “Pemerintah butuh memeriksa radiasi. Tidak mungkin kan mereka menurunkan orang. Mau nggak mau menggunakan mesin,” ucap dia memberi contoh.

Pada generasi kedua, penerapan kecerdasan buatan sudah menyebar hingga ke industri komersial. Saat itu mereka menyimpan data secara digital. Baru ketika memasuki generasi ketiga, data tersebut dimanfaatkan lebih jauh.

Lalu, pertanyaan lain muncul. Kalau demikian, di generasi manakah Indonesia berada saat ini? Dengan penuh keyakinan, Dr. Ford yang juga Ketua IEEE Computer Society Indonesia Chapter itu menjawab bahwa Indonesia nyatanya sudah berada di generasi keempat, tapi belum merata.

“Indonesia itu unik. Kalau di Jakarta, sebanding dengan di Singapura. Tapi kalau lebih jauh sedikit keluar Jakarta, mungkin belum lah,” ungkap Dr. Ford.

AI, Industri, dan SDM

Kini, banjir kebutuhan teknologi kecerdasan buatan datang dari dunia industri. Bahkan, Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045 yang baru meluncur bulan Agustus ini, dalam halaman 81 tertulis bahwa, Kecerdasan Artifisial sangat prospektif untuk mendukung serta memperkuat pembangunan industri nasional.

Tren industri yang semakin mengarah kepada teknologi AI juga menarik perhatian Dr. Ford. Dia mencontohkan teknologi berbasis cloud atau komputasi awan yang marak digunakan masyarakat umum. “Industri mau tak mau ada kebutuhan (terhadap AI), untuk efisiensi, proses transaksi, dan lain sebagainya,” kata Dr. Ford, yang acap menekankan pentingnya mengambil Program Doktor bidang Ilmu Komputer

Meski demikian, tak jarang orang merasa terintimidasi dengan kemunculan teknologi ini. Pasalnya, pengaplikasian AI bisa menggeser posisi manusia dalam bidang-bidang tertentu. Contoh paling kelihatan, penerapan pembayaran e-toll secara masif telah menghilangkan beberapa fungsi layanan gardu toll oleh manusia.

Dr. Ford mengamini fakta tersebut. “Pada suatu titik memang ada beberapa pekerjaan yang mulai hilang. Tapi banyak juga pekerjaan yang muncul,” ucap dia. Ke depannya, menurut Dr. Ford, tren akan bergeser ke arah yang bersifat konten kreatif, yang hanya bisa dilakukan oleh manusia. Bukan lagi pekerjaan rutin yang dapat dikerjakan oleh sistem.

Terlebih lagi, saat ini kasus pandemi Covid-19 masih terus meningkat di beberapa tempat. Masyarakat pun terpaksa membatasi ruang gerak di luar rumah. Kondisi ini, menurut Dr. Ford, harus dilihat dari dua sisi. “Pertama, memang ini kita sebut musibah. Tapi kalau berbicara teknologi, Covid-19 adalah sebuah momentum. Di mana kita memiliki kesempatan mengaplikasikan teknologi berbasis digital dan AI,” ungkap dia.

Oleh karena itu, Indonesia mulai berbenah dalam soal mempersiapkan sumber daya manusia di bidang kecerdasan artifisial. Tak salah jika kemudian SDM juga menjadi sorotan dalam Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045. Pada halaman 50 tercatat bahwa Indonesia saat ini belum mampu mengimbangi tingginya kebutuhan industri akan talenta kecerdasan artifisial, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Kesenjangan ini perlu dijembatani melalui suatu upaya link-and-match antara kebutuhan industri dan penyediaan talenta.

Menyingkapi hal tersebut, Deputy Head of DCS Binus University itu menekankan pentingnya mencetak sumber daya manusia yang memiliki kemampuan research-based problem solving. Menurut dia, begitu banyak permasalahan industri tidak bisa terselesaikan dengan cara konvensional. “Dulu menyelesaikan problem sudah ada guideline-nya, standarnya, atau framework-nya. Sekarang sudah nggak bisa. Mau nggak mau harus melakukan riset. Nah riset ini domainnya ada di S3,” lanjut Dr. Ford.

Sayangnya, sering kali program Doktor Ilmu Komputer yang ditawarkan saat ini memberi kesan seperti menara gading. Manfaatnya kurang terasa bagi masyarakat. Apalagi, lanjut Dr. Ford, para mahasiswa S3 Ilmu Komputer itu umumnya hanya melihat suatu solusi dari perspektif ilmu komputer. “Dia tidak melihat ilmu lain, atau bahkan agak alergi. Kalau kami terbalik, melihatnya sebagai bagian yang memperkaya, bersama-sama tumbuh, bersimbiosis bahkan mendisain ekosistem nya,” kata Dr. Ford saat menjelaskan budaya pembelajaran di Program DCS, BINUS University.

Dia membandingkan keunikan sumber daya manusia di Indonesia dengan India dan Tiongkok, “Di sini ada pasarnya, tapi di sisi lain Indonesia juga punya SDM yang bagus. Tapi kita memang masih kalah pamor dibandingkan India dan Cina.” Tapi, lanjut Dr. Ford, mulai bermunculan permintaan SDM dari industri internasional yang berbasis teknologi. Mereka memindahkan bisnisnya ke sini dan merekrut SDM yang telah tamat kuliah Doktor Ilmu Komputer.

“Google, Microsoft, di luar negeri yang dicari itu karyawannya S3 loh. Karena mereka dituntut melakukan problem solving berdasarkan riset,” jelas dia. Untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan SDM dengan kualifikasi tersebut, BINUS University sejak 2014 telah membuka Program Doctor of Computer Science (DCS). Program ini juga telah membuahkan beragam kegiatan dengan semangat Fostering & Empowering—sesuai visi dan misi BINUS University—melalui berbagai kegiatan riset, pengembangan, serta pengabdian masyarakat.

Terlebih lagi, program ini kerap melakukan kolaborasi riset dan publikasi bersama peneliti-peneliti dunia dalam International Conference di bidang Ilmu Komputer, selain juga kegiatan Visiting Professor. Sementara itu, para mahasiswa yang nantinya lulus Program DCS BINUS University tidak hanya mendapatkan ijazah, tetapi juga portofolio. “Ketika dia lulus, ada sesuatu yang tangible yang dia bawa sebagai doktor DCS BINUS University, yaitu publikasi, hibah, pengalaman internasional, dan produk,” kata Dr. Ford menutup saat wawancara. (DCS)