Artificial Intelligence dalam Pendidikan Perguruan Tinggi: Ikuti atau Hindari?

 

 

 

Meskipun terdengar sebagai inovasi kekinian, artificial intelligence (AI) sebetulnya sudah muncul pada 1950-an. Sejak saat itu, perkembangannya begitu pesat untuk menjawab kebutuhan berbagai industri. Terbaru, telah hadir generative AI yang mampu menciptakan konten teks, visual, hingga audio berdasarkan data dan instruksi.

Mengingat kemampuannya yang semakin canggih, tidak mengherankan jika ada semakin banyak industri yang mengadopsi AI. Menurut data The AI Index 2022 Annual Report dari Stanford University, sebanyak 32% layanan finansial telah menggunakan natural language text understanding, disusul dengan 31% layanan healthcare yang mengadopsi virtual agents. Tren serupa ternyata juga merambah pada artificial intelligence dalam pendidikan perguruan tinggi.

Tren Terkini Pendidikan Perguruan Tinggi

Penggunaan artificial intelligence dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari tren terkini yang tengah meramaikan bidang tersebut. Saat ini, mahasiswa ingin bisa merasakan pengalaman belajar yang lebih advanced. Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan menerapkan pembelajaran yang terpersonalisasi dan bersifat hybrid, sehingga mahasiswa bisa lebih fleksibel dalam belajar.

Dari situlah kemudian muncul tren baru, yakni modernisasi kampus untuk memfasilitasi pengalaman belajar secara fisik maupun digital. Apabila seluruh kebutuhan tersebut bisa dipenuhi, potensi outcome-nya pun tidak main-main. Harapannya, mahasiswa dapat menerapkan sistem belajar yang bersifat lifelong atau terus-menerus. 

Agar bisa memadukan pengalaman belajar secara fisik dan digital, tentunya dibutuhkan teknologi dan sumber daya yang mudah diakses oleh seluruh mahasiswa dan dosen. Dengan begitu, dapat tercipta pula inklusi di lingkungan universitas. 

Lantas, bagaimana AI dapat mendukung tren-tren ini?

Artificial Intelligence dalam Pendidikan Perguruan Tinggi

Menjawab pertanyaan tersebut, BINUS University mengadakan Simposium Nasional bertajuk “Tantangan dan Peluang Kecerdasan Buatan di Perguruan Tinggi” pada 17 Mei 2023. Salah satu pembicaranya, Panji Wasmana selaku Technology Director dari Microsoft Indonesia, membagikan insight seputar peran artificial intelligence dalam pendidikan perguruan tinggi.

Salah satu bukti atas peran AI tersebut telah dirasakan sendiri oleh Jacksonville University di Amerika Serikat. Lima tahun lalu, ketika pihak manajemen universitas membutuhkan data, mereka harus mengisi form dan menunggu departemen statistik untuk membuatkan spreadsheet. 

Namun, sejak mengadopsi teknologi AI, Jacksonville University berhasil menjadi universitas yang lebih mandiri karena tak ada lagi proses manual yang memakan banyak waktu. Selain itu, mereka juga jadi lebih mudah memahami data dalam volume besar, sehingga membantu mereka mengambil keputusan yang lebih tepat. Kini, Jacksonville University dikenal sebagai universitas dengan kultur data-driven yang begitu kuat.

Pengalaman serupa juga dirasakan oleh University of South Florida. Berkat penerapan AI, seluruh stakeholders di universitas dapat mengakses data dan mendapatkan insight yang mereka butuhkan. Hal ini pun menciptakan adanya demokratisasi data, yang memungkinkan staf universitas untuk mengembangkan analisis terhadap data temuan dan membagikannya kepada para rekan kerja.

Hati-hati, Tetap Ada Tantangan Tersendiri

Pengalaman Jacksonville University dan University of South Florida hanyalah contoh kecil dari sekian banyaknya penerapan artificial intelligence dalam dunia pendidikan. Kalau mengambil contoh aktivitas pembelajaran sehari-hari, mahasiswa bisa merasakan fungsi AI saat menggunakan ChatGPT untuk membantu proses belajar. 

ChatGPT adalah AI berjenis chatbot yang dapat merespons instruksi (prompt) berbentuk teks dari pengguna. Jadi, katakanlah seorang mahasiswa menuliskan prompt “apa yang dimaksud dengan komunikasi antarpersona?”, maka ChatGPT akan memberikan jawabannya dalam bentuk teks pula. 

Walau memang sangat membantu, tidak bisa dimungkiri bahwa adopsi AI di bidang perguruan tinggi tetap disertai kekhawatiran. Bagaimana jika mahasiswa jadi terlalu bergantung pada ChatGPT? Bukannya membantu, hal tersebut justru bisa memengaruhi kualitas belajar mahasiswa. 

Belum lagi adanya isu plagiarisme dan integritas, karena bukan tidak mungkin mahasiswa memasukkan prompt pada AI untuk mengerjakan tugas kuliah mereka. Apakah ini artinya universitas harus melarang penggunaan AI sama sekali?

Untuk Para Pengajar: Haruskah Mengikuti atau Menghindari?

Pesatnya perkembangan artificial intelligence dalam dunia pendidikan tidak bisa dihindari. Jadi, melarang penggunaan AI pada mahasiswa maupun di lingkungan universitas bukanlah ide yang bijaksana. Namun, bukan berarti Anda harus mengikutinya 100% begitu saja. Sebaiknya, buatlah peraturan terkait penggunaan AI, lalu ajarkan kepada mahasiswa bagaimana cara menggunakan AI secara bertanggung jawab.

Tak kalah penting, Anda juga bisa mengajarkan mahasiswa tentang cara membuat instruksi atau prompt yang tepat untuk AI. Dengan begitu, mahasiswa akan mendapatkan outcome yang akurat dan relevan saat menggunakan ChatGPT maupun perangkat AI lain. Tak hanya kepada mahasiswa, Anda juga bisa berbagi soal hal ini kepada sesama tim pengajar maupun staf universitas.

Pesatnya perkembangan artificial intelligence dalam pendidikan perguruan tinggi bukanlah hal untuk ditakuti maupun dihindari. Sebaliknya, Anda perlu mengadopsi teknologi ini untuk meningkatkan proses pembelajaran sekaligus pekerjaan di tingkat universitas. Namun, agar penggunaan AI bisa tepat sasaran, diperlukan adanya peraturan bagi mahasiswa maupun staf pengajar. Hanya dengan begitulah praktik bertanggung jawab terhadap AI bisa terwujud.