Quantum Computing Jawab Kebutuhan Manusia Akan Kecepatan & Memori
Head of Concertation Computer Science di program Doctor of Computer Science (DCS) BINUS University, Agung Trisetyarso, Ph.D mengatakan pentingnya pemahaman Quantum Computing, mengingat revolusi kedua teknologi quantum diperkirakan terjadi tahun 2025. Sangat mungkin ke depannya nanti masyarakat bisa menikmati perangkat yang super cepat dengan memori jauh lebih besar.
Jakarta – Istilah Quantum Computing memang belum familiar di telinga masyarakat awam. Apalagi, teknologi Quantum Computer atau Super Komputer sendiri sampai saat ini hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan raksasa semacam Google, IBM, atau Intel. Pengembangannya juga masih didominasi oleh negara-negara seperti Jepang, China, dan Amerika Serikat.
Meski demikian, menurut Agung Trisetyarso, Ph.D, Head of Concertation Computer Science di program Doctor of Computer Science (DCS) BINUS University, tren Quantum Computing sebenarnya semakin menanjak seiring berkembangnya teknologi kuantum.
Salah satu alasannya adalah, lanjut dia, Quantum Computing bisa menjawab masalah mendasar tentang komputasi sekaligus memenuhi kebutuhan manusia akan memori dan kecepatan.
“Contoh memori 4GB pada tahun 1959 dibayangkan secara fisiknya itu gudang isinya tumpukan kertas, ya mungkin seluas Kampus Anggrek BINUS ini. Itu baru 4GB sedangkan sekarang komputer kita sudah ratusan gigabyte memori. Itu kan luar biasa,” kata Agung.
Begitupun soal kebutuhan manusia akan kecepatan. Agung menceritakan bahwa dia pernah mengalami masa ketika membuka satu situs web saja membutuhkan waktu semalaman. Bandingkan dengan masa kini saat orang bisa menonton video di Youtube atau film di Netflix dalam hitungan detik.
“Kenapa itu bisa terjadi? Karena information processing kita itu semakin lama semakin kecil. Umat manusia itu menuju Hukum Moore, yaitu dia akan menuju satu limit yang disebut single-electron transistor. Secara teori dan eksperimen, kuantum teori sekarang sudah bisa menjawab itu. Tinggal scalable-nya aja sampai di kantong kita,” papar Agung.
Awal Pengembangan
Ide mengenai teori kuantum awalnya dikembangkan oleh para ilmuan seperti Erwin Rudolf Josef Alexander Schrödinger, Max Born, Werner Heisenberg, juga Wolfgang Pauli.
“Mereka punya satu gagasan bahwa entitas fisika itu ternyata bisa memiliki partisi-partisi. Sedikit saja deh tentang konsep atomos yang artinya tidak bisa dibagi-bagi. Nah akhirnya dari konsep itu muncul konsep fisika partikel yang nantinya menjadi fondasi dari teori kuantum,” jelas Agung.
Dia melanjutkan, pada 1980, seorang pemenang Nobel bernama Richard Feynman menyatakan bahwa terdapat gap untuk menstimulasikan fisika kuantum dan non-kuantum. Dia pun menyarankan untuk menstimulasikan fisika kuantum dengan teori kuantum, bukan dengan klasikal fisika.
“Ini ceritanya cukup panjang karena ada perbedaan mendasar antara kuantum teori dengan Newtonian. Kalau kuantum teori itu orang bilang probability theory, jadi berbasis pada probabilitas sedangkan kalau fisika deterministik. Singkat cerita begitu,” papar Agung.
Manfaat dan Aplikasi
Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah Quantum Computing dapat membawa manfaat terhadap kehidupan manusia? Agung menjawab dengan anggukan yang mantap. Dia menegaskan, pengaplikasian teknologi ini sangat luas.
Quantum Computing bisa menembus batas-batas pengembangan dalam banyak bidang, misalnya untuk membantu prediksi cuaca yang lebih akurat dan secara real-time, pengembangan obat-obatan baru, serta meningkatkan keamanan siber atau cybersecurity.
“Dalam kriptografi sudah ada protokolnya. Sudah diaplikasikan untuk keputusan algoritma untuk mengenkripsi RSA (Rivest-Shamir-Adleman) dengan kecepatan yang ekstrem,” kata Agung.
Quantum Computing memang unggul dalam bidang keamanan siber. “Cybersecurity itu sekarang sudah harus bicara Quantum Computing,” lanjutnya.
Namun seperti pedang bermata dua, Quantum Computing juga bisa menjadi ancaman bagi keamanan siber. Agung mencontohkan Google yang sekitar 10 tahun lalu sudah memiliki setidaknya 10 komputer kuantum.
Enkripsi RSA menggunakan komputer kuantum dapat dilakukan dalam hitungan detik saja. Jauh berbeda ketika menggunakan komputer biasa yang membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun.
“Artinya kalau Google mau jahat, mau menguras seluruh aset di Indonesia dan seluruh dunia itu bisa. Bayangkan! Tapi karena sistem di AS itu demokrasi, dia (Google) enggak
bisa melakukan secara semena-mena,” Agung menerangkan.
Pengembangan dan Riset
Berbagai riset terkait Quantum Computing juga mulai ramai dilakukan para peneliti di dalam negeri. Beberapa mahasiswa doktoral (S-3) di program DCS BINUS University pun tak ketinggalan tren ini.
“Ada mahasiswa saya yang mengambil riset terkait komputasi finansial, berkaitan dengan masalah harga minyak mentah. Ada juga yang tentang Artificial Intelligence dan energi, AI di bidang perikanan, inovasi manajemen inventaris, juga keamanan siber,” kata Agung.
Tak hanya itu, dia bersama beberapa koleganya turut melakukan riset, salah satunya tentang computational economic. Lebih jelasnya, Agung membuat komputasi terkait disruptive innovation ecosystem dengan menggunakan model Quantum Computing.
“Jadi yang kami kerjakan ini mensimulasikan ekosistem inovasi. Ekosistem inovasi itu kan ada 4, yaitu government, academic, business, dan community. Kemudian kami simulasikan dari public data set-nya,” kata Agung.
Dia menyebutkan bahwa saat ini yang menjadi isu dalam inovasi adalah adanya bentrokan antara incumbent dan disruptor. Misalnya seperti yang pernah terjadi antara incumbent perusahaan transportasi berlogo burung biru dengan sebuah startup aplikasi transportasi online.
“Saat itu kan isu teknologi yang agak gap ya. Akhirnya perusahaan incumbent ini menyerap teknologi baru tersebut dan akhirnya mereka mulai berubah. Itu adalah contoh incumbent yang ikut dengan disruption. Nah itu kami buat simulasinya. Kenapa itu bisa terjadi? Kenapa bentrokan itu bisa terjadi?” ujar Agung.
Lebih jauh dia menjelaskan, perusahaan incumbent memiliki dua pilihan ketika bentrokan itu terjadi, yakni beradaptasi dengan perubahan atau tetap berbisnis seperti biasa. Pilihan terakhir, menurut Agung akan membuat perusahaan hilang dari persaingan.
“Kan banyak incumbent yang akhirnya punah. Tapi incumbent seperti perusahaan transportasi tadi bisa beradaptasi dengan inovasi. Nah ini kami jelaskan dengan konsep kuantum komputasi. Bahwa perubahan kecil di dalam ekosistem inovasi itu bisa berdampak kepada disruption,” dia menjelaskan.
Beradaptasi dengan teknologi
Disrupsi terjadi di semua industri, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, Agung pun menegaskan bahwa adaptasi merupakan proses penting agar sebuah perusahaan bisa tetap unggul dalam kompetisi bisnis.
BINUS University misalnya. Berdasarkan pengalaman, dia melihat bahwa BINUS sebagai sebuah institusi pendidikan selalu berusaha mengikuti perkembangan yang ada.
“Waktu awal ramai Artificial Intelligence, kami langsung ikut. Begitu juga dengan tren Quantum Computing. Ini tidak mudah bagi incumbent (di dunia pendidikan) untuk berubah. Tapi kalau kami (BINUS) memang lebih agile dalam beradaptasi,” kata Agung.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, mahasiswa S-3 DCS telah banyak melakukan penelitian terkait aplikasi Quantum Computing. Begitupun dengan para pengajar BINUS yang secara konsisten melakukan penelitian, hingga bekerja sama dengan industri untuk beberapa penelitian khusus.
“Saya pikir pemahaman tentang Quantum Computing saat ini memang sangat dibutuhkan. Ke depannya akan semakin ramai karena waktu saya di Cambridge ada profesor dari Oxford bilang revolusi kedua di quantum technology akan dimulai pada 2025,” tutur Agung.
Jilid-jilid revolusi quantum technology tersebut, lanjutnya, akan mendorong revolusi dalam information processing mulai dari Spintronics sampai dengan single electron transistor, hingga kuantum komputer.
“Dampaknya apa untuk orang awam? Komputernya makin cepat. Umat manusia itu kan semakin dimanjakan oleh teknologi. Banyak aplikasi ini-itu. Tapi apakah kita sadar di balik itu revolusi apa saja yang terjadi?” ucap Agung.
Sekali lagi dia menegaskan bahwa perubahan terjadi dengan sangat cepat. Agung pun mengutip frasa terkenal dari Charles Darwin, yakni “survival of the fittest” yang berkaitan dengan mekanisme seleksi alam.
“Kalau kita tidak fittest dengan keadaan, sepintar apapun, kita sekuat apapun kita, tidak akan bisa bertahan. Contohnya dinosaurus. Mereka punah karena tidak fit dengan perubahan,” kata Agung.
Lebih lanjut dia menyatakan bahwa manusia pun kini sedang melalui proses seleksi. Hanya manusia yang bisa beradaptasi dengan perubahan yang mampu bertahan bahkan unggul dari manusia lainnya.
“Nah di antara manusia sekian milyar manusia ada lagi seleksinya. Yaitu yang paling bisa mengikuti inovasi. Yang tidak bisa mengikuti inovasi dan perubahan siap-siap tergilas. Makanya kita butuh kemampuan untuk beradaptasi. Ke depannya perubahan akan semakin banyak,” ucap Agung menutup wawancara.