Ini 3 Alasan Tren Machine Learning Terus Melejit di Tengah Pandemi
Machine learning jadi primadona di kalangan industri, terutama startup yang menjalankan bisnis berbasis teknologi. Tak mengherankan, permintaan terhadap SDM andal di bidang ini terus meningkat. Sayangnya, Dr. Ir. Yaya Heryadi, M.Sc., Lecturer and Researcher di Doctor of Computer Science (DCS), BINUS University, melihat bahwa skill para talent dalam negeri belum memenuhi standard kebutuhan industri.
Jakarta – Industri berbasis teknologi informasi semakin menguatkan taringnya selama pandemi. Ketika banyak perusahaan terpaksa melakukan PHK, perekrutan karyawan baru di industri kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) justru kian melejit. LinkedIn mencatat, peningkatan pekerjaan di bidang ini tumbuh hingga 32 persen sejak 2019. Artinya, kebutuhan industri terhadap SDM yang menguasai keahlian AI juga semakin tinggi.
Tren tersebut mencakup pekerjaan di bidang machine learning, salah satu cabang ilmu AI. Tak tanggung, gaji seorang machine learning engineer di Amerika Serikat bisa mencapai 125.000 dolar AS per tahun atau setara Rp1,8 miliar dalam kurs Februari 2022.
Fakta tersebut pun tak mengejutkan Dr. Ir. Yaya Heryadi, M.Sc., Lecturer and Researcher di Doctor of Computer Science (DCS), BINUS University. Menurut dia, machine learning memang merupakan salah satu cabang ilmu komputer yang sedang naik daun, termasuk di Indonesia.
Terbukti, lanjut Yaya, Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama sejumlah lembaga telah menerbitkan standard sertifikasi di bidang AI, yang turut didukung oleh banyak perusahaan di Indonesia.
“Saat ini Pemerintah sudah menetapkan istilahnya keahlian dasar apa saja untuk setiap orang yang ingin bekerja di bidang machine learning. Jadi sekarang artinya dari sisi pemerintah sudah aware bahwa perlu adanya sertifikasi keahlian machine learning dan ini didukung oleh industri di Indonesia,” kata pria yang terpilih sebagai salah satu penguji program sertifikasi tersebut.
“Jadi ini sebagai indikasi bahwa tidak hanya berita-berita di luar negeri, bahwa di Indonesia pun permintaan terhadap skill machine learning ini sudah meningkat. Dan itu sebabnya pemerintah sebagai regulator ikut di dalam pembuatan sertifikasi untuk machine learning. (Berarti) kebutuhannya memang ada,” lanjut dia.
Tren Machine Learning
Lalu mengapa pengaplikasian machine learning menjamur di berbagai industri, bahkan di tengah badai pandemi? Setidaknya, Yaya menyebutkan tiga alasan utama.
Pertama, dalam banyak kasus, sulit untuk mengubah data input menjadi suatu output dengan menggunakan algoritma biasa. Pasalnya, kita tidak bisa mengetahui dengan pasti hubungan atau pola antara input dan output tersebut.
Yaya menjelaskan, berbeda dengan algoritma biasa, machine learning dapat menemukan sendiri pola untuk mengubah suatu input menjadi output. Misalnya dalam masalah klasifikasi data, kita hanya perlu memasukkan contoh input dan contoh output ke dalam algoritmamachine learning. Lalu, algoritma “pintar” ini akan mencari hubungan atau pola dari data yang ada secara otomatis. “Machine learning itu secara sederhana adalah himpunan dari algoritma yang bisa belajar sendiri tanpa secara eksplisit diprogram,” ucap dia.
Alasan kedua adalah merebaknya big data. Big data sendiri merupakan sekelompok data yang volumenya besar, jenisnya beragam, pertumbuhannya cepat, memiliki nilai, akan tetapi juga mempunyai aspek ketidakpastian. Contohnya, data dari media sosial seperti Twitter, Whatsapp, dan lain sebagainya. “Ketidakpastian itu dalam arti kita tidak pernah tahu apakah ada data yang error atau tidak. Nah, big data ini tidak mungkin diolah dengan metode yang ‘konvensional’, seperti metode-metode statistik. Sangat tidak mungkin untuk mengolah data yang tidak hanya volumenya besar tetapi bertambah dengan cepat,” papar Yaya.
Terakhir, terdapat beberapa aplikasi yang membutuhkan solusi cepat, namun masih bisa berkompromi dengan solusi yang tidak precise. Dia mencontohkan tentang pengembangan sistem mobil autonomous atau mobil otomatis yang tidak dikendarai oleh manusia. “Ini situasi yang agak kompleks. Coba bayangkan di depan mobil itu ada kamera yang akan mengambil data semua objek yang ada di depan kendaraan itu. Supaya apa? Supaya mobil itu bisa melaju dengan aman dan nyaman kalau ada penumpangnya, tidak melanggar rambu-rambu lalu lintas,” Yaya menguraikan.
Untuk itu, semua gambar objek tersebut harus dikategorikan. Di antaranya, lampu lalu lintas yang menunjukan lampu sedang merah, kuning, atau hijau, serta rambu-rambu lain semisal batas kecepatan. Termasuk juga manusia dan kendaraan yang sangat mungkin tiba-tiba melintas di depan. “Ini situasi yang kompleks sehingga diperlukan sebuah sistem yang bisa dengan cepat memproses gambar yang terambil dengan kamera dan memberikan kategorisasi objek apa yang ada di depan. Apakah masalah komputasi itu perlu solusi precise seperti misalnya solusi di bidang medis? Enggak perlu,” kata Yaya.
“Jadi paling tidak di situ ada solusi yang diukur dengan likelihood atau probabilitas ada objek di depan dengan kategori tertentu itu sudah cukup. Misalnya ada probability 60% ini ada orang yang melintas, jadi si kendaraan harus dengan segera mengurangi kecepatan,” lanjutnya. Meski demikian, Yaya menjelaskan bahwa terdapat faktor pendukung lain yang mendorong akselerasi pengembangan aplikasi machine learning. Sebagai contoh, ketersediaan GPU server juga ketersediaan algoritma yang efisien yang dikembangkan oleh berbagai peneliti serta para dosen di perguruan tinggi.
Perguruan Tinggi dan Industri
Yaya menerangkan, perkembangan machine learning tak terlepas dari kerja sama antara industri dan universitas. Bahkan, pengembangan machine learning berawal dari penelitian di perguruan tinggi. Lebih jauh, di belakang Facebook, Google, Amazon, sebenarnya ada peneliti-peneliti andal dari akademisi yang membantu pengembangan produk.
“Jadi kalau kita melihat di universitas di luar negeri sebetulnya perkembangkan, khususnya ilmu komputer, itu tidak terlepas dari kerja sama antara industri dan perguruan tinggi.
Perguruan tinggi tentunya memiliki sumber daya pengajar, dosen, peneliti dan juga mahasiswa yang terus menerus belajar untuk mempelajari, mengembangkan, atau meneliti,” kata dia. Sementara itu, industri memiliki dana dan data yang mampu menyokong penelitian tersebut. Yaya menyebut hubungan ini sebagai simbiosis mutualisme.
“Nah mungkin suatu saat saya yakin di Indonesia juga bisa. Saya lihat di BINUS sudah mulai ada kerja sama antara industri dengan perguruan tinggi dalam bentuk penyediaan dana hibah,” ucapnya.
Kemudian, hasil penelitian dari pada dosen tersebut bisa diadopsi oleh industri untuk mengembangkan bisnis. Setelah itu, industri memberikan masukan lagi kepada para akademisi, seperti bagian tertentu dalam penelitian yang berpotensi bisa diteliti lebih jauh.
“Jadi jangan hanya sekadar penelitian ini berakhir di paper, berakhir di skripsi, berakhir di tesis atau disertasi, selesai gitu ya. Tapi harus berdampak kepada masyarakat luas. Nah salah satu media yang membuat itu bisa berdampak adalah industri sebenarnya, melalui produknya. Masyarakat bisa memanfaatkan dan akhirnya juga memberikan feedback kepada perguruan tinggi bagian mana lagi yang perlu ditingkatkan,” ujar Yaya.
Memicu Kualitas SDM
Meskipun tren pengembangan aplikasi AI—termasuk machine learning—terus meningkat, Yaya menilai saat ini skill SDM di dalam negeri belum mencukupi tuntutan dan kebutuhan industri. Padahal, sudah banyak perusahaan yang paham pentingnya analisis data (data science), terutama untuk mengolah big data yang mereka miliki menjadi sesuatu yang bernilai tambah bagi bisnis.
“Dengan perkembangan perusahaan-perusahaan seperti startups yang sebetulnya di balik itu semua itu dibutuhkan sejumlah tenaga yang memahami data science. Data science itu adalah sebuah bidang ilmu yang di dalamnya tidak hanya machine learning ya, tapi ada berbagai lagi. Dan jumlahnya terus bertambah,” ujar dia.
Oleh karenanya, Indonesia memerlukan SDM berkualitas yang memiliki skill mumpuni untuk melakukan pengembangan aplikasi machine learning yang mampu berdampak kepada masyarakat. Kemampuan ini tentunya hanya dapat dikuasai dengan mengasah keahlian melakukan penelitian, seperti yang dilakukan di program pendidikan tingkat doktoral atau S3.
Pasalnya, penelitian mutlak diperlukan agar industri bisa terus beradaptasi dengan perkembangan pasar, menemukan jenis bisnis baru atau mengembangkan produk yang sesuai kebutuhan pelanggan. Itulah mengapa perusahaan raksasa seperti Apple dan Google dapat bertahan dari gempuran zaman. Mereka memiliki tim Research & Development yang mampu terus melahirkan inovasi.
Oleh karena itu, demi mengantisipasi kebutuhan SDM dengan kualifikasi tersebut, BINUS University sejak 2014 telah membuka Program Doctor of Computer Science (DCS). Program ini juga telah membuahkan beragam kegiatan Fostering & Empowering—sesuai tagline BINUS University—melalui berbagai kegiatan riset, pengembangan, serta pengabdian masyarakat.
Terlebih lagi, program ini kerap melakukan kolaborasi riset dan publikasi bersama peneliti-peneliti dunia dalam International Conference di bidang Ilmu Komputer, selain juga kegiatan Visiting Professor.
Sementara itu, para mahasiswa yang nantinya lulus Program DCS BINUS University tidak hanya mendapatkan ijazah, tetapi juga sesuatu yang tangible sebagai doktor DCS BINUS University, yaitu publikasi, hibah, pengalaman internasional, dan produk. Harapannya, para lulusan S3 ini bisa mempunyai kemampuan pengembangan dan penelitian berbasis inovasi.