Mengenal Capacity Building Sebagai Pendekatan Internet di Wilayah Pedesaan

Selama beberapa tahun ke belakang, pemerintah fokus dalam meningkatkan poros ekonomi nasional. Salah satu strategi yang dilakukan adalah membangun internet backbone di 62 kabupaten tertinggal. Mengapa harus internet? Tentunya di masa sekarang dan masa depan, internet akan menjadi tulang punggung bisnis, baik di kota maupun di desa. Pemerintah telah menunjuk Bakti KOMINFO bersama Ir. Satriyo Dharmanto, M.Si. yang menjadi PMU Commercial Consultant Bakti KOMINFO.

Dalam sebuah kesempatan, Satriyo diundang untuk menjadi guest speaker dalam episode DCS Podcast. DCS Podcast adalah sebuah program binaan Doctor of Computer Science BINUS University, obrolan santai yang dipandu oleh Dr. Ford Lumban Gaol (Head of Doctor of Computer Science BINUS University). Topik yang dibawakan kali ini adalah “Pengaruh ICT Masuk Desa Terhadap Ketahanan Ekonomi Nasional.”

Tujuan dilakukan capacity building

Satriyo menceritakan bagaimana pemerintah ingin melakukan pendekatan internet di wilayah pedesaan secara berkelanjutan. Artinya, infrastruktur jaringan internet didukung pula oleh pemberdayaan masyarakat. Karena itu, capacity building diterapkan untuk mengedukasi dan membantu para masyarakat di desa untuk beradaptasi dengan TIK. “Masing-masing daerah belum tentu siap untuk menghadapi teknologi baru. [Tanpa capacity building] nanti jadi sia-sia, sudah dapat koneksi besar, tapi dipakai untuk kegiatan tidak produktif.”

Digital literacy adalah salah satu komponen utama yang ingin ditingkatkan melalui capacity building ini. Menurut Satriyo, masih banyak masyarakat di desa yang belum tahu hal-hal mendasar seperti bagaimana cara membuat email, padahal pengetahuan ini menjadi gerbang untuk memanfaatkan internet secara optimal.

Namun, Satriyo menekankan walaupun memang digital literacy berkaitan dengan latar belakang pendidikan, nyatanya masyarakat di desa seperti yang ada di Indonesia Timur memiliki daya tangkap yang tinggi. Sehingga, tidak begitu sulit bagi Satriyo dan tim untuk memperkenalkan internet kepada warga di daerah pedalaman.

Diskusi terbuka dengan masyarakat

Selain digital literacy, penghambat lainnya yang selama ini membuat masyarakat pedesaan tertinggal dalam pemanfaatan internet adalah ketidaksadaran akan peran internet bagi kesejahteraan hidup mereka. Bagi masyarakat di perkotaan, tentu sudah merasakan sendiri bagaimana internet bukan sekadar sarana hiburan saja, kini juga menjadi mata pencaharian. Misalnya saja seperti profesi ojek online yang muncul berkat adanya pengembangan aplikasi mobile dan jaringan internet.

Hal seperti ini yang belum diketahui oleh warga di desa. “Mereka juga belum tahu hubungan internet dengan ekonomi keluarga mereka.” Akhirnya, capacity building pun menjadi ajang diskusi terbuka antara tim Satriyo dan masyarakat di desa. Satriyo menjelaskan bahwa langkah pertama yang diambil adalah membuka pikiran masyarakat akan peran penting internet.

Penting untuk memberi pemahaman bagi masyarakat bahwa masing-masing dari mereka berperan dalam perekonomian global. Terutama dalam masa pandemi, masyarakat pedesaan sudah bisa melihat sendiri bagaimana sebelumnya usaha mereka ramai didatangi turis atau pendatang luar daerah, kini jadi sepi. Peran Satriyo di sini adalah menjelaskan benang merah dari masalah tersebut dengan konektivitas internet sebagai solusi.

Internet tidak serta merta menggusur tradisi

Ada keraguan bahwa internet akan ditolak mentah-mentah oleh kabupaten-kabupaten tertinggal di Indonesia. Alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah golongan yang menolak keras modernisasi demi mempertahankan tradisi leluhur. Namun, Satriyo selama ini melihat reaksi positif dan antimo sebagian besar masyarakat akan hadirnya koneksi internet di tempat tinggal mereka.

Tantangan ini memang cukup besar, mengingat bagaimana setiap desa punya warna dan budaya yang berbeda. Satriyo mengatakan bahwa pendekatan yang diambil langsung menyasar lapisan masyarakat terdalam, yaitu tokoh-tokoh desa yang berpengaruh. Jika tokoh masyarakat ini bisa menyambut internet dengan baik, secara otomatis masyarakat lainnya akan mengikuti mereka. “Harus hati-hati dan kita memperhatikan local wisdom. Kita harapkan ada euforia, jadi internet ini dari Anda dan untuk Anda.”

Berpikir dari perspektif bisnis

Capacity building tidak hanya soal mengajarkan masyarakat soal penggunaan internet ataupun membuka pikiran mereka soal manfaat internet. Kembali lagi ke tujuan utama, konektivitas internet di kabupaten tertinggal diharapkan dapat menunjang perekonomian di sana, sehingga bisa menunjang ekonomi nasional. Dari sini, Satriyo mengungkap bahwa selalu ada diskusi untuk mengajak masyarakat di desa berpikir dari perspektif bisnis.

Masyarakat diberi arahan soal berbagai macam hal, mulai dari identifikasi business model canvas, investasi melalui BUMDes, cerita pengalaman bisnis, sampai implementasi ICT di sektor pertanian dan peternakan. Hasilnya cukup positif, Satriyo menceritakan kekagetannya saat mendengar cerita para wanita muda di desa yang semula bekerja sebagai buruh pabrik, kini merintis bisnis online dengan penjualan mencapai Rp90 juta per hari. “Konotasi startup adanya di kota, tapi apa benar startup hanya bisa di kota besar? Saya kira nanti desa dan kota tidak akan jadi berbeda jauh.