Mengakselerasi Transformasi Digital di Masa Pandemi

Covid-19 mendesak para pelaku bisnis untuk bertransformasi digital. Menyoroti fenomena ini, Dr. Ford Lumban Gaol, Deputy Head of Doctor of Computer Science, BINUS Graduate Program-BINUS University, menekankan pentingnya peran praktisi dan akademisi di bidang sistem informasi. Sebagai arsitektur utama, mereka harus memiliki kualifikasi mumpuni, salah satunya dengan melanjutkan kuliah ke jenjang doktor Ilmu Komputer


Pandemi Covid-19 telah merombak steriotip dunia bisnis. Sebagian karyawan kini bekerja secara remote dari rumah masing-masing. Bahkan, mungkin ada yang terpaksa memasang layanan internet di rumah karena cafe-cafe dengan wi-fi gratis tak melayani makan di tempat.

Hal tersebut baru dari sisi sumber daya manusianya saja. Perusahaannya sendiri harus memutar otak agar mampu menjalankan bisnis di tengah wabah yang mendunia ini. Jalan paling memungkinkan, yaitu memanfaatkan teknologi digital. Namun, seperti apa kesiapan mereka? Sebuah studi independen yang dilakukan Workday, penyedia peranti lunak untuk manajemen keuangan dan SDM, mungkin bisa mewakili menjawab pertanyaan tersebut. Riset berjudul Workday Digital Agility Index ini meneliti ketangkasan digital dari berbagai perusahaan di Indonesia selama masa pandemi.

Setelah menyurvei sekitar 900 pemimpin bisnis, Workday menemukan bahwa 93% perusahaan menjadikan transformasi digital sebagai salah satu prioritas usaha. Lebih lanjut, sejumlah 85% di antaranya memanfaatkan teknologi digital agar dapat menjalankan rencana bisnis selama pandemi Covid-19. Meski demikian, empat dari lima atau sekitar 80% perusahaan mengalami kesulitan dalam mengubah rencana keuangan tahun 2020 ini. Selain itu, 69% perusahaan juga mengaku kerepotan dalam menyesuaikan kembali struktur organisasi mereka.

Menanggapi hal tersebut, Dr. Ford Lumban Gaol, Deputy Head of Doctor of Computer Science (DCS) BINUS University mengatakan bahwa permasalahan utama perusahaan adalah data. Selama ini banyak perusahaan membiarkan data tersimpan di atas kertas saja. “Setiap transaksi itu kan menghasilkan data. Nah, data itu harus dipindahkan ke digital sehingga tidak lagi eksklusif. Semua divisi (dalam perusahaan terkait) harus tahu. (Data) harus lintas sektoral,” ucap dia dalam wawancara pada Rabu (09/09/2020)

Data perusahaan juga, lanjut Dr. Ford, tersebar di banyak tempat sehingga pengambilan keputusan menjadi lambat, tidak efektif, dan kurang presisi. Bahkan, kerap kali salah alamat. Dia mencontohkan BINUS—yang salah satunya memiliki Program DCS—sebagai sebuah perusahaan. Bisnis utamanya adalah pendidikan, sedangkan pendukungnya, yaitu marketing, keuangan, HRD, dan sebagainya.

Lalu Dr. Ford menjabarkan, “Misal ada pertanyaan: mahasiswa baru BINUS paling banyak masuk di Maret atau September? Itu yang tahu orang marketing. Tapi kalau ada pertanyaan lanjutan: boleh tahu berapa revenue-nya? Yang tahu orang keuangan. Kalau ingin tahu, rata-rata IPK paling tinggi di semester berapa? Orang akademik yang tahu.”

Data yang menyebar tersebut membuat perusahaan bergerak lambat. Padahal mereka harus bersaing dengan industri lain. “Mau nggak mau dia membutuhkan dasar dalam mengambil keputusan tertentu. Makanya dia melakukan transformasi digital,” Dr. Ford memaparkan.

Persiapan dan tahapan

Dr. Ford menekankan bahwa transformasi digital ini tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Ada persiapan serta tahapannya. Jangan sampai transformasi digital kandas di tengah jalan atau hanya memakan biaya maksimal tanpa hasil setimpal. “Perusahaan harus melakukan evaluasi diri dari sisi kebutuhan, timeline, dan man power. (Bagian) paling berat di sini sebenarnya, karena dia (perusahaan) harus memutuskan go or not go,” ujar dia.

Selain itu, Dr. Ford yang juga Ketua IEEE Computer Society Indonesia Chapter menekankan agar perusahaan tidak memutuskan untuk bertransformasi hanya karena pesaing melakukan hal sama. “Belum tentu yang dilakukan pesaing itu sesuai dengan apa yang dia butuhkan,” kata dia. Jika diperlukan, perusahaan bisa menyewa jasa konsultan SI (Sistem Informasi) yang kompeten. Salah satu tolok ukurnya adalah latar belakang pendidikan. Kebanyakan konsultan di luar negeri sudah terlebih dulu lulus kuliah Program Doktor Ilmu Komputer.

Setelah hasil evaluasi yang objektif selesai, transformasi digital harus dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, ‘merekayasa’ ulang organisasi. Kedua, mengubah semua data perusahaan menjadi digital. “Ketiga, evaluasi dari sisi enterprise arsitekturnya, seperti perangkat keras, infrastruktur, dan lain-lain,” Dr. Ford memaparkan.

Tahap berikutnya, lanjut dia, merupakan yang paling penting, yaitu migrasi. Biasanya akan terjadi banyak resistensi dari sumber daya manusianya. Terutama bagi karyawan generasi lama yang terbiasa melakukan semua hal dengan cara konvensional. “Setelah migrasi, baru running. Di sini juga banyak tantangannya terutama koordinasi dari satu bagian dengan bagian yang lain,” ujar Dr. Ford.

Kesiapan SDM

Mengutip studi sama dari Workday, salah satu masalah utama perusahaan berasal dari kurangnya kecakapan SDM dalam memanfaatkan sarana digital. “Digital transformation itu domainnya di sistem informasi. Peran orang Sistem Informasi ini dari sisi arsitekturnya,” kata Dr. Ford. Ketika melakukan rekayasa ulang, perusahaan perlu membuat arsitektur baru. Blue print ini harus dirancang oleh orang yang tepat, yaitu mereka yang menguasai ilmu sistem informasi, terutama SDM yang telah lulus Program Doktor ilmu Komputer bidang Sistem Informasi.

“Mereka ini punya kemampuan dalam hal research-based problem solving. Karena tidak ada petunjuk untuk menyelesaikan masalah dalam industri saat ini. Harus melakukan riset,” kata Dr. Ford. Lebih jauh, dia menyatakan bahwa saat ini dunia industri membutuhkan pakar SI yang mampu menjembatani industri, teknologi, dan sains. Oleh karena itu, program Doctor of Computer Science BINUS University telah dirancang sedemikian rupa agar terjalin link-and-match antara pengajaran di kelas dan kebutuhan industri akan SDM lulusan Program Doktor Ilmu Komputer bidang Sistem Informasi.

Program tersebut juga telah membuahkan beragam kegiatan dengan semangat Fostering & Empowering—sesuai visi dan misi BINUS University—melalui berbagai kegiatan riset, pengembangan, serta pengabdian masyarakat. Terlebih lagi, DCS sering kali melakukan kolaborasi riset dan publikasi bersama banyak peneliti dunia dalam International Conference di bidang Ilmu Komputer, selain juga kegiatan Visiting Professor.

“Mahasiswa program DCS BINUS University harus punya kontribusi nyata yang benar-benar bisa diaplikasikan. Lulus harus ada produk yang bisa dimanfaatkan masyarakat,” ucap Dr. Ford menambahkan. Sejak berdiri tahun 2014, program DCS telah menerapkan pendekatan orientasi berbasis riset. Hal ini, menurut Dr Ford, merupakan salah satu karakteristik yang membedakan program kuliah DCS BINUS University.

“Mahasiswa kami juga harus melakukan penelitian yang bersinggungan dengan bidang lain, misalnya di kami sendiri ada yang risetnya berkolaborasi dengan bidang kedokteran, meteorologi, dan pertanian,” ujar dia.

Selain itu, Dr Ford mengungkapkan fakta bahwa program kuliah DCS BINUS University memiliki warna industri yang lebih kental. Lebih dari 50% peserta didiknya adalah praktisi. “Kalau di tempat lain praktisi itu umumnya hanya 5% sampai 10% saja. Paling banyak akademisi.” Sebagian dari para praktisi tersebut, lanjut dia, mengambil program DCS karena ingin mengembangkan karier di perusahaannya. Ada pula mahasiswa yang memutuskan bekerja lepasan sebagai konsultan.

“Di India konsultan itu 90% bergelar doktor. Di Indonesia sudah mulai masuk ke arah sana, walaupun masih ketinggalan lima tahunan ya,” kata Dr. Ford. Sebelum menutup wawancara, Dr Ford mengingatkan bahwa transformasi digital itu merupakan suatu keniscayaan. Terlebih lagi kondisi pandemi Covid-19 memaksa semua berkas, dokumen, dan transaksi dialihkan secara digital.

“Ini sebuah momentum, kesempatan yang mungkin dulu orang belum pikirkan. Orang sistem informasi, terutama lulusan DCS BINUS (berperan) penting menghasilkan domain riset yang menelurkan blue print yang mungkin ditawarkan ke industri,” ujar Dr. Ford. (DCS)